Sabtu, 09 Mei 2015

(Ceritanya ikutan) Audisi World Karaoke Grand Prix Indonesia : Bandung & Jakarta

Keisengan gue ikut lomba karaoke bahasa Jepang berlanjut. Setelah tahun lalu hanya jadi penonton final World Karaoke Grand Prix Indonesia di Ennichisai Blok M, tahun ini gue nekat ikut audisinya (kan kata tagline salah satu merk motor, lampaui dirimu *eak). 


Gue menjajal kemampuan di dua tempat : Bandung dan Jakarta. Akan tetapi walau gue mengikuti audisi untuk ajang yang sama di dua kota, ternyata ada banyak perbedaan sistem yang cukup signifikan. Detilnya akan gue bahas di bawah ini ya, tapi sebelumnya mungkin ada teman-teman yang belum tahu apa itu World Karaoke Grand Prix

World Karaoke Grand Prix? Makhluk apa tuh?


World Karaoke Grand Prix (biasa disingkat WKG) adalah ajang kompetisi karaoke lagu-lagu soundtrack anime, film, dan game Jepang tingkat dunia yang diselenggarakan dalam rangkaian acara World Cosplay Summit (WCS) di Nagoya, Jepang. Nggak hanya menyanyi, peserta WKG harus bercosplay sesuai dengan anime, film, atau game asal lagu yang dibawakan. Contohnya kalau kamu menyanyikan lagu soundtrack dari One Piece, maka kamu harus bercosplay menjadi salah satu karakter di dalam anime tersebut. Pada 2014 lalu, ada 12 negara yang ikut serta dalam kompetisi ini, termasuk Indonesia. Tahun lalu Indonesia berhasil meraih runner-up. Untuk menjadi wakil negara, peserta harus mengikuti audisi dan menjadi juara pertama babak final Indonesia yang diadakan di event Ennichisai Blok M.

Sekarang semakin ngerti kan kenapa gue ngebet banget pingin coba peruntungan, hadiah buat juara satunya ke Jepang bo’ ahaha.

Oke sekarang gue akan bahas bagaimana proses audisi di Bandung dan Jakarta. Gue sebut Bandung duluan karena audisinya lebih awal daripada Jakarta. Audisi Bandung menjadi salah satu rangkaian acara CLAS:H Bandung di Balai Sartika, Buah Batu tanggal 4 April 2015. Audisi Jakarta benar-benar murni audisi seharian, tanggal 25 April 2015 di Blok M Plaza.

Jadi, mereka bedanya dimana?

Proses Seleksi


Di audisi daerah, sebelumnya ada pre-audisi lewat mengirimkan sampel suara berupa video sepanjang satu menit. Audisi Bandung bikin gue sport jantung karena gue yang rajin nungguin ada update di website Indonesia Cosplay Grand Prix (ICGP, halaman tentang WKG juga ada di situ) ternyata salah mantengin website. Info tentang audisi Bandung justru adanya di website CLAS:H Bandung dan gue baru tahu di tanggal yang katanya jadi tanggal penutupan pengiriman video. Kata-kata “tanggal penutupan” bikin gue bingung. Apa di tanggal itu gue masih boleh ngirim video? Kenapa nggak pakai pernyataan lain yang lebih jelas seperti “batas maksimal pengiriman”, “deadline”, apa kek yang mengurangi keambiguan. Usaha gue nanya ke admin fanpage FB sia-sia karena responnya lelet.

Gue tambah galau ketika ternyata form onlinenya masih bisa diakses. Akhirnya daripada penasaran gue putuskan untuk tetap kirim video yang baru dibikin hari itu juga dalam waktu nggak sampai 15 menit udah termasuk dandan seadanya. Tanpa take ulang pula karena malas (jangan ditiru). Selang beberapa hari kemudian ternyata gue masuk 10 semifinalis daerah yang tampil di CLAS:H Bandung..Sembari mikir jangan-jangan yang  daftar sedikit makanya gue yang mepet ini malah kepilih. Entahlah.

Audisi Jakarta nggak pake video-videoan, semua peserta yang sudah mendaftar online sebelumnya diminta hadir di hari audisi. Saking rajinnya gue datang bahkan sebelum panitia nongol, berharap urutan daftar ulang benar-benar menentukan urutan tampil seperti yang tertera di website karena gue pingin cepat pulang. Nyatanya diacak juga, dan di situ saya merasa sebal karena bisa-bisa baru balik malam padahal datang paling pagi.

Panggung

Karena audisi Bandung ada di dalam rangkaian CLAS:H dan menyewa satu gedung pertemuan, jadi panggungnya lumayan luas. Malah luas banget sebenarnya kalau hanya diisi seorang penyanyi amatir yang gugupnya masih suka hilang-timbul (iya gue ngomongin diri sendiri). Berbeda dengan audisi Jakarta dimana tempat audisinya memanfaatkan sarana live music di food court Blok M Plaza. Suasana lebih akrab walau tegangnya nggak berkurang. Kupu-kupu tetap berterbangan di perut, nggak peduli panggung kecil atau besar.       

Penjurian

Pada aspek ini, audisi Jakarta menurut gue jauh lebih oke. Di Bandung, yang tahu pendapat para juri mengenai peserta hanya dewan juri dan Tuhan. Setelah peserta tampil, tanpa babibu langsung diminta turun dari panggung, berlanjut ke peserta berikutnya.  Dewan juri di Jakarta meluangkan waktu untuk mengomentari penampilan peserta satu per satu. Peserta jadi tahu apa saja hal-hal yang sudah kuasai dan apa yang masih perlu ditingkatkan. Salut banget karena peserta yang hadir kurang lebih ada 30-an orang dan semuanya diberi feedback. Kudos untuk dewan juri Jakarta!

Finalis Terpilih

Audisi daerah di Jogja, Surabaya, Bandung, dan Medan (lalu di sini gue bingung lagi, kurang satu? ._. Kan total ada 10?) masing-masing mengambil seorang peserta untuk bertanding di final WKG Indonesia di Ennichisai Blok M. Audisi Jakarta dapat jatah lima orang. Alasan paling masuk akal yang bisa gue pikirkan untuk kebijakan ini adalah mungkin sebagai antisipasi peserta nggak bisa hadir di Ennichisai karena masalah transportasi dari kota asal ke Jakarta yang harus ditanggung sendiri. Tiket kereta Surabaya-Jakarta atau tiket pesawat Medan-Jakarta kan lumayan.  Pasti akan kepikiran terutama buat mereka dengan sistem “balik modal” karena belum tentu menang lombanya.   



Afterwords 

Dari kedua audisi tersebut, menurut gue audisi daerah memberikan pengalaman dan tantangan lebih kepada calon finalis karena peserta langsung dihadapkan pada suasana panggung besar yang mirip-mirip suasana final di Ennichisai. Di sini ketenangan dan kemampuan peserta menghadapi audiens langsung teruji. Sistem seleksi awal lewat video juga membantu panitia menyusutkan jumlah peserta sehingga akhirnya meringankan beban panitia dalam melakukan audisi. 

Di sisi lain, suasana akrab di audisi Jakarta serta dibukanya kesempatan untuk siapa saja mengikuti audisi membuat proses seleksi yang sebenarnya lama jadi menyenangkan. Waktu menunggu yang panjang gue manfaatkan untuk berkenalan dengan sejumlah peserta lainnya, bahkan gue bertemu beberapa orang yang dulu lolos semifinal Bandung dan bernasib sama seperti gue (nggak terpilih dududu), lalu penasaran ingin coba audisi lagi.  Selain itu, feedback dari dewan juri dapat menjadi pembelajaran untuk peserta supaya di lain kesempatan bisa memberikan penampilan yang lebih oke. Tapi jujur aja menurut gue komentar-komentarnya terlalu baik, sementara gue sudah nyiapin hati untuk dikritik pedas (pitch kamu jelek, power kurang, artikulasi berantakan, lupa lirik ya tadi? Gue ngarep dibeginiin ahaha) 


Walau belum berhasil mendapatkan kesempatan untuk mencicipi panggung final Ennichisai, gue nggak merasa menyesal karena sudah memberanikan diri mencoba ikut audisinya. Ini jadi pengalaman berharga yang menambah jam terbang gue menaklukkan demam panggung, semacam systematic desensitization sambil senang-senang. Sekarang waktunya kembali menyibukkan diri dengan latihan, latihan, dan latihan lagi!

Semoga catatan kecil ini dapat membantu teman-teman yang berminat ikut audisi WKG tahun depan serta bisa jadi bahan evaluasi teman-teman panitia yang membaca corat-coret gue :D   


Special thanks untuk Amu dan Shabrina, yang sudah mau minjemin kostum dan wig buat penyanyi amatiran yang kurang modal ini hehe ^^;; juga buat my beloved sis Tina dan sobat ngebolang Arini yang mau digeret-geret nemenin gue audisi di Bandung dan Blok M. I can't do this without your support!!

Dan selamat buat Rei dari Bandung yang mewakili Indonesia di WKG Nagoya \o/ I got a hunch you'll made it :D Make Indonesia proud fella!!

Minggu, 02 November 2014

Manga Festival in Indonesia at Pusat Studi Jepang UI


Suatu hari teman gue mengabarkan tanggal 31 Oktober 2014 sejumlah penerbit besar Jepang akan mengadakan talk show di kampus UI dalam rangka Manga Festival. Nggak main-main, yang datang adalah orang penting dari nama-nama penerbit yang familiar di kalangan penggemar manga, mulai dari Kadokawa Shoten, Kodansha, dan Shueshia. Ditambah lagi ada mangaka yang diundang sebagai pembicara yaitu Takashi Hashiguchi-sensei, pengarang Yakitate Japan dari Shogakukan. Kebetulan semester ini gue nggak ada kuliah di hari Jumat, sehingga gue bisa mengikuti talk show tanpa  harus bolos kuliah. Pergilah gue bersama seorang teman  ke Pusat Studi Jepang (PSJ) UI.

Pertama kami agak bingung karena dari luar, sama sekali tidak terlihat bahwa di PSJ ada kegiatan. Poster, baliho, atau sekedar flyer pun nihil. Kebingungan kami mereda setelah melihat sejumlah orang mulai menyemut ke arah auditorium dan setelah diperhatikan lagi banyak orang Jepang berpakaian rapi ala pegawai kantoran mondar-mandir. Oh bener kok ada acara. Kami pun mengekor rombongan dan mencari tempat nyaman untuk melihat layar proyektor. Narasumber pertama adalah CEO Kadokawa Contents Academy, Tetsuya Koga.

Tetsuya Koga-san dari Kadokawa Contents Academy
Awal presentasi beliau, rasanya seperti sedang kuliah di kelas manajemen atau ekonomi karena banyak banget grafik dan tabel yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia jika dibandingkan negara-negara lain di dunia. Ditambah lagi detil-detil tentang pendapatan perusahaan yang gue yakin nggak dipedulikan oleh mayoritas pengunjung. Untungnya sebelum audiens merasa datang ke acara yang salah, Koga-san langsung menceritakan rencana Kadokawa membuka sekolah pop culture contents seperti animasi,manga,dan voice actor di Indonesia pada tahun 2015. Beliau juga memberitahu bahwa Kadokawa berniat untuk mendirikan sekolah di sepuluh negara Asia. Indonesia adalah negara ketiga setelah Taiwan dan Singapura yang akan mendapat kesempatan menikmati fasilitas pendidikan Kadokawa ini.

Narasumber kedua terdiri dua orang cowok dari Kodansha dan seorang cewek dari Toei Animation. Cowok pertama, editor Naoko Takeuchi pengarang Sailor Moon, Fumio Osano dan yang kedua adalah Senior Manager Licensing Department Kodansha, Junichiro Tsuchiya. Si mbak manis yang fotonya diabadikan diam-diam oleh sejumlah cowok merupakan produser televisi Toei Animation, Yu Kamiki. 

Geng Kodansha dan Toei Animation
Setelah menjelaskan sedikit tentang Kodansha, bahasan utama ketiga narasumber ini adalah proyek remake Sailor Moon. Gue dan teman gue sempat berdebat mengenai anime Sailor Moon yang baru. Teman gue kukuh berpendapat bahwa animasinya kurang oke karena terkesan kaku. Gue berusaha berlogika (walau dipaksain), mungkin karena sasarannya untuk anak-anak makanya masalah teknis nggak terlalu dipikirkan. Kami berdua langsung diam begitu Kamiki-san bilang sebenarnya target utama anime ini adalah para fans lama Sailor Moon yang sekarang sudah dewasa. Yak, kontan teori gue langsung mentah.

Dari semua narasumber, Osano-san adalah yang paling komunikatif dan kocak. Menurut beliau, fans Sailor Moon ada dua kategori. Kategori pertama bernama ooki tomodachi, arti harfiahnya “teman besar”. Mereka adalah cowok-cowok dewasa yang sudah bekerja (bebas mau interpretasi apa, beliau sendiri nggak menjelaskan lebih jauh,tapi gaya bicara beliau bikin mikir yang aneh-aneh). Lalu yang kedua adalah chiisai tomodachi atau “teman kecil”, yaitu cewek-cewek SD-SMP yang memang jadi target awal Sailor Moon. Osano-san juga curhat bahwa sekarang persaingan semakin ketat karena banyak ooki tomodachi beralih ke AKB48, jadi beliau dan timnya berusaha agar Sailor Moon bisa kembali eksis seperti masa jayanya dulu.

Narasumber ketiga langsung mengundang antusiasme yang besar. Giliran Takashi Hashiguchi dan editornya Shigeru Kanmuri naik ke atas panggung. Gue berpikir keras kenapa nama si editor terdengar nggak asing..Ternyata nama editornya sama dengan salah satu tokoh di manga Yakitate Japan (inget cowok mirip cewek yang badannya kecil, jenius, dan junior juri salah seorang juri di Yakitate?). 

Mangaka dan editor Yakitate Japan
Pada sesi ini narasumber seharusnya menjawab pertanyaan yang sudah dikumpulkan via internet, akan tetapi karena banyak sekali yang mengangkat tangan dan ingin bertanya akhirnya dibuka kesempatan tanya jawab bebas. Pasangan mangaka-editor ini ternyata sering bertengkar namun tetap berusaha menghasilkan karya yang bagus. Ketika ditanya mengenai cara mendapat inspirasi, setengah berkelakar Hashiguchi-sensei bilang bahwa ia mendapatkan inspirasi saat sedang mengejan di toilet atau menggoda cewek. Saat memilih penanya pun beliau dengan kocak bilang akan mengutamakan penanya cewek. Di akhir sesi Hashiguchi-sensei menunjukkan kemahirannya membuat sketsa dalam waktu singkat

Sesi terakhir diisi oleh chief editor majalah Ribon, Jitsuya Tomishige dan chief editor Shounen Jump, Yoshihisa Heishi yang keduanya berasal dari Shueshia. Gue sebenarnya kasihan sama editor Ribon karena disandingkan dengan editor Jump yang punya fans jauh lebih banyak, tapi sebagai pengunjung gue cuma bisa empati. Gue terbengong-bengong saat Tomishige-san menjelaskan judul-judul yang ada di Ribon (karena shoujo, apalagi untuk anak SD jelas sudah nggak gue konsumsi, gomennasai Tomishige-san >_<a). Semangat gue mulai bangkit lagi saat Heishi-san dapat giliran bicara.
Sesi Ribon dan Shonen Jump dari Shueshia
Heishi-san menunjukkan edisi terbaru Shonen Jump yang terbit esok hari serta video singkat mengenai manga Jump yang populer, plus suasana kerja di Jump. Meja-meja penuh dengan tumpukan kertas serta barang-barang pribadi masing-masing editor. Dengan malu-malu beliau mengakui ruang editor Jump berantakan. Beliau menceritakan bahwa dengan deadline mingguan, tak jarang para editor dan mangaka harus bekerja hingga 24 jam sehari agar Jump bisa terbit dengan selamat. Selain itu, Heishi-san menjelaskan bahwa mayoritas mangaka dan editor di Jump berusia dua puluhan dan Jump sangat mengapresiasi talenta-talenta pemula. Pernyataan ini bikin gue teringat pojok curhatnya Masashi Kishimoto, pengarang Naruto waktu beliau banting setir dari sekolah seni menjadi mangaka. Dengan kerja sama yang baik dengan editor dan keuletan, akhirnya Kishimoto-sensei sukses besar. 

Berakhirnya presentasi Heishi-san turut menjadi penutup acara. Rentetan pertanyaan langsung muncul di kepala gue ketika sesi tanya jawab dibuka kembali dan gue sangat bernafsu "menguliti" proses editing di Jump yang banyak menghasilkan manga hits. Sialnya gue nggak dipilih walau sudah heboh nunjuk tangan, plus pake jilbab warna mencolok. Gue yang kesal karena nggak kebagian giliran bertanya dan kecewa begitu ingat kalau beberapa pertanyaan ternyata jauh dari esensial (plis deh di depan lo itu orang yang susah ditemuin wooy =_=) akhirnya menghibur diri dengan foto grup dan foto bersama Heishi-san sang chief editor Jump. 
me and Heishi-san \o/
Ingin sekali gue ngobrol lebih lanjut tapi apa daya Bahasa Jepang gue amburadul dan beliau nggak bisa Bahasa Inggris. Belum lagi pihak penyelenggara acara meminta pengunjung untuk cepat bubar. Agh. Belum puas, tapi tetap senang karena sudah dapat kesempatan tahu lebih jauh mengenai industri manga di Jepang.           

     

Rabu, 25 Juni 2014

Indonesia Open 2014 : (slightly) Different but Great As Always



In Indonesia, the most popular sports is football  and badminton takes the second position. For me, badminton will always be number one sports because it gives pride to Indonesia. Those remarkable badminton athletes should be honored as national heroes to appreciate their tremendous effort to be champions in international tournaments. But that dream probably will only be a dream for this near time, so me and other badminton lovers should be content with the annual badminton tournament in Jakarta : Indonesia Open 2014 which held at Istora (Sports Center) Senayan Jakarta from 17-22 June. It’s my third time to watch this event on the site. If you guys haven’t tried it before, I recommend you to give it a shot. Trust me, you’ll get addicted to it and come back again next year.




There was a significant change this year because this event now had different main sponsor. For two years in a row, Indonesia Open was dominated with red color. This year, all decorations were in blue. It didn’t disturb the festivities feel in this event at all. I personally glad that the sponsor was change since cigarette company used to take the place. It’s not funny to have a sports event that promotes health sponsored by goods that harmful for health

Every year, I always watch the round 2 where many players still compete so I can see plenty matches in a day. If lucky, you could take a picture with your favorite players although if you aim for the popular one, you need extra effort (and extra luck!) because they won’t stroll around as carefree as the other players.

Indonesia Open is special. Unlike other tournaments in other countries where the spectators are usually only show up for final matches, in Indonesia Open Round 2 matches could attract many people to come. I was surprised to see such excitement, even the most uncomfortable seat (because of the view angle and yeah, it has the cheapest ticket price) were almost full. Istora Senayan was shaken because of the supporter’s cheer! Last year and two years ago, the hype wasn't that great.

It's only round 2 but look at those full seats!
Unfortunately the cheering couldn't make the players’ journey easier. I had to witness Indonesian players lost to their rivals one by one. Many of them had a fierce battle with slightly different score but still ended up lost.. Aaaaagh it was frustrating really! It’s true that winning isn’t everything but losing in your own nest has its own painful sensation o___o


But no matter what the result, watching badminton matches are always fun :) I definitely will continue this habit next year and the year after..I’ll drag my future family with me haha! And hopefully Indonesian badminton will improve to be even much better and seize all titles! 

IN-DO-NE-SIA!! *dum-dum-dum-dum-dum*