Minggu, 02 November 2014

Manga Festival in Indonesia at Pusat Studi Jepang UI


Suatu hari teman gue mengabarkan tanggal 31 Oktober 2014 sejumlah penerbit besar Jepang akan mengadakan talk show di kampus UI dalam rangka Manga Festival. Nggak main-main, yang datang adalah orang penting dari nama-nama penerbit yang familiar di kalangan penggemar manga, mulai dari Kadokawa Shoten, Kodansha, dan Shueshia. Ditambah lagi ada mangaka yang diundang sebagai pembicara yaitu Takashi Hashiguchi-sensei, pengarang Yakitate Japan dari Shogakukan. Kebetulan semester ini gue nggak ada kuliah di hari Jumat, sehingga gue bisa mengikuti talk show tanpa  harus bolos kuliah. Pergilah gue bersama seorang teman  ke Pusat Studi Jepang (PSJ) UI.

Pertama kami agak bingung karena dari luar, sama sekali tidak terlihat bahwa di PSJ ada kegiatan. Poster, baliho, atau sekedar flyer pun nihil. Kebingungan kami mereda setelah melihat sejumlah orang mulai menyemut ke arah auditorium dan setelah diperhatikan lagi banyak orang Jepang berpakaian rapi ala pegawai kantoran mondar-mandir. Oh bener kok ada acara. Kami pun mengekor rombongan dan mencari tempat nyaman untuk melihat layar proyektor. Narasumber pertama adalah CEO Kadokawa Contents Academy, Tetsuya Koga.

Tetsuya Koga-san dari Kadokawa Contents Academy
Awal presentasi beliau, rasanya seperti sedang kuliah di kelas manajemen atau ekonomi karena banyak banget grafik dan tabel yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia jika dibandingkan negara-negara lain di dunia. Ditambah lagi detil-detil tentang pendapatan perusahaan yang gue yakin nggak dipedulikan oleh mayoritas pengunjung. Untungnya sebelum audiens merasa datang ke acara yang salah, Koga-san langsung menceritakan rencana Kadokawa membuka sekolah pop culture contents seperti animasi,manga,dan voice actor di Indonesia pada tahun 2015. Beliau juga memberitahu bahwa Kadokawa berniat untuk mendirikan sekolah di sepuluh negara Asia. Indonesia adalah negara ketiga setelah Taiwan dan Singapura yang akan mendapat kesempatan menikmati fasilitas pendidikan Kadokawa ini.

Narasumber kedua terdiri dua orang cowok dari Kodansha dan seorang cewek dari Toei Animation. Cowok pertama, editor Naoko Takeuchi pengarang Sailor Moon, Fumio Osano dan yang kedua adalah Senior Manager Licensing Department Kodansha, Junichiro Tsuchiya. Si mbak manis yang fotonya diabadikan diam-diam oleh sejumlah cowok merupakan produser televisi Toei Animation, Yu Kamiki. 

Geng Kodansha dan Toei Animation
Setelah menjelaskan sedikit tentang Kodansha, bahasan utama ketiga narasumber ini adalah proyek remake Sailor Moon. Gue dan teman gue sempat berdebat mengenai anime Sailor Moon yang baru. Teman gue kukuh berpendapat bahwa animasinya kurang oke karena terkesan kaku. Gue berusaha berlogika (walau dipaksain), mungkin karena sasarannya untuk anak-anak makanya masalah teknis nggak terlalu dipikirkan. Kami berdua langsung diam begitu Kamiki-san bilang sebenarnya target utama anime ini adalah para fans lama Sailor Moon yang sekarang sudah dewasa. Yak, kontan teori gue langsung mentah.

Dari semua narasumber, Osano-san adalah yang paling komunikatif dan kocak. Menurut beliau, fans Sailor Moon ada dua kategori. Kategori pertama bernama ooki tomodachi, arti harfiahnya “teman besar”. Mereka adalah cowok-cowok dewasa yang sudah bekerja (bebas mau interpretasi apa, beliau sendiri nggak menjelaskan lebih jauh,tapi gaya bicara beliau bikin mikir yang aneh-aneh). Lalu yang kedua adalah chiisai tomodachi atau “teman kecil”, yaitu cewek-cewek SD-SMP yang memang jadi target awal Sailor Moon. Osano-san juga curhat bahwa sekarang persaingan semakin ketat karena banyak ooki tomodachi beralih ke AKB48, jadi beliau dan timnya berusaha agar Sailor Moon bisa kembali eksis seperti masa jayanya dulu.

Narasumber ketiga langsung mengundang antusiasme yang besar. Giliran Takashi Hashiguchi dan editornya Shigeru Kanmuri naik ke atas panggung. Gue berpikir keras kenapa nama si editor terdengar nggak asing..Ternyata nama editornya sama dengan salah satu tokoh di manga Yakitate Japan (inget cowok mirip cewek yang badannya kecil, jenius, dan junior juri salah seorang juri di Yakitate?). 

Mangaka dan editor Yakitate Japan
Pada sesi ini narasumber seharusnya menjawab pertanyaan yang sudah dikumpulkan via internet, akan tetapi karena banyak sekali yang mengangkat tangan dan ingin bertanya akhirnya dibuka kesempatan tanya jawab bebas. Pasangan mangaka-editor ini ternyata sering bertengkar namun tetap berusaha menghasilkan karya yang bagus. Ketika ditanya mengenai cara mendapat inspirasi, setengah berkelakar Hashiguchi-sensei bilang bahwa ia mendapatkan inspirasi saat sedang mengejan di toilet atau menggoda cewek. Saat memilih penanya pun beliau dengan kocak bilang akan mengutamakan penanya cewek. Di akhir sesi Hashiguchi-sensei menunjukkan kemahirannya membuat sketsa dalam waktu singkat

Sesi terakhir diisi oleh chief editor majalah Ribon, Jitsuya Tomishige dan chief editor Shounen Jump, Yoshihisa Heishi yang keduanya berasal dari Shueshia. Gue sebenarnya kasihan sama editor Ribon karena disandingkan dengan editor Jump yang punya fans jauh lebih banyak, tapi sebagai pengunjung gue cuma bisa empati. Gue terbengong-bengong saat Tomishige-san menjelaskan judul-judul yang ada di Ribon (karena shoujo, apalagi untuk anak SD jelas sudah nggak gue konsumsi, gomennasai Tomishige-san >_<a). Semangat gue mulai bangkit lagi saat Heishi-san dapat giliran bicara.
Sesi Ribon dan Shonen Jump dari Shueshia
Heishi-san menunjukkan edisi terbaru Shonen Jump yang terbit esok hari serta video singkat mengenai manga Jump yang populer, plus suasana kerja di Jump. Meja-meja penuh dengan tumpukan kertas serta barang-barang pribadi masing-masing editor. Dengan malu-malu beliau mengakui ruang editor Jump berantakan. Beliau menceritakan bahwa dengan deadline mingguan, tak jarang para editor dan mangaka harus bekerja hingga 24 jam sehari agar Jump bisa terbit dengan selamat. Selain itu, Heishi-san menjelaskan bahwa mayoritas mangaka dan editor di Jump berusia dua puluhan dan Jump sangat mengapresiasi talenta-talenta pemula. Pernyataan ini bikin gue teringat pojok curhatnya Masashi Kishimoto, pengarang Naruto waktu beliau banting setir dari sekolah seni menjadi mangaka. Dengan kerja sama yang baik dengan editor dan keuletan, akhirnya Kishimoto-sensei sukses besar. 

Berakhirnya presentasi Heishi-san turut menjadi penutup acara. Rentetan pertanyaan langsung muncul di kepala gue ketika sesi tanya jawab dibuka kembali dan gue sangat bernafsu "menguliti" proses editing di Jump yang banyak menghasilkan manga hits. Sialnya gue nggak dipilih walau sudah heboh nunjuk tangan, plus pake jilbab warna mencolok. Gue yang kesal karena nggak kebagian giliran bertanya dan kecewa begitu ingat kalau beberapa pertanyaan ternyata jauh dari esensial (plis deh di depan lo itu orang yang susah ditemuin wooy =_=) akhirnya menghibur diri dengan foto grup dan foto bersama Heishi-san sang chief editor Jump. 
me and Heishi-san \o/
Ingin sekali gue ngobrol lebih lanjut tapi apa daya Bahasa Jepang gue amburadul dan beliau nggak bisa Bahasa Inggris. Belum lagi pihak penyelenggara acara meminta pengunjung untuk cepat bubar. Agh. Belum puas, tapi tetap senang karena sudah dapat kesempatan tahu lebih jauh mengenai industri manga di Jepang.