Suatu hari teman gue mengabarkan
tanggal 31 Oktober 2014 sejumlah penerbit besar Jepang akan mengadakan talk
show di kampus UI dalam rangka Manga Festival. Nggak main-main, yang datang
adalah orang penting dari nama-nama penerbit yang familiar di kalangan
penggemar manga, mulai dari Kadokawa Shoten, Kodansha, dan Shueshia. Ditambah
lagi ada mangaka yang diundang sebagai pembicara yaitu Takashi
Hashiguchi-sensei, pengarang Yakitate Japan dari Shogakukan. Kebetulan semester
ini gue nggak ada kuliah di hari Jumat, sehingga gue bisa mengikuti talk show
tanpa harus bolos kuliah. Pergilah gue
bersama seorang teman ke Pusat Studi
Jepang (PSJ) UI.
Pertama kami agak bingung karena
dari luar, sama sekali tidak terlihat bahwa di PSJ ada kegiatan. Poster,
baliho, atau sekedar flyer pun nihil. Kebingungan kami mereda setelah melihat
sejumlah orang mulai menyemut ke arah auditorium dan setelah diperhatikan lagi
banyak orang Jepang berpakaian rapi ala pegawai kantoran mondar-mandir. Oh bener
kok ada acara. Kami pun mengekor rombongan dan mencari tempat nyaman untuk
melihat layar proyektor. Narasumber pertama adalah CEO Kadokawa Contents
Academy, Tetsuya Koga.
Tetsuya Koga-san dari Kadokawa Contents Academy |
Awal presentasi beliau, rasanya
seperti sedang kuliah di kelas manajemen atau ekonomi karena banyak banget
grafik dan tabel yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia jika
dibandingkan negara-negara lain di dunia. Ditambah lagi detil-detil tentang
pendapatan perusahaan yang gue yakin nggak dipedulikan oleh mayoritas
pengunjung. Untungnya sebelum audiens merasa datang ke acara yang salah,
Koga-san langsung menceritakan rencana Kadokawa membuka sekolah pop culture contents seperti animasi,manga,dan voice actor di Indonesia pada tahun 2015. Beliau juga
memberitahu bahwa Kadokawa berniat untuk mendirikan sekolah di sepuluh negara
Asia. Indonesia adalah negara ketiga setelah Taiwan dan Singapura yang akan mendapat
kesempatan menikmati fasilitas pendidikan Kadokawa ini.
Narasumber kedua terdiri dua
orang cowok dari Kodansha dan seorang cewek dari Toei Animation. Cowok pertama,
editor Naoko Takeuchi pengarang Sailor Moon, Fumio Osano dan yang kedua adalah
Senior Manager Licensing Department Kodansha, Junichiro Tsuchiya. Si mbak manis
yang fotonya diabadikan diam-diam oleh sejumlah cowok merupakan produser
televisi Toei Animation, Yu Kamiki.
Geng Kodansha dan Toei Animation |
Setelah menjelaskan sedikit tentang
Kodansha, bahasan utama ketiga narasumber ini adalah proyek remake Sailor Moon.
Gue dan teman gue sempat berdebat mengenai anime Sailor Moon yang baru. Teman
gue kukuh berpendapat bahwa animasinya kurang oke karena terkesan kaku. Gue
berusaha berlogika (walau dipaksain), mungkin karena sasarannya untuk anak-anak
makanya masalah teknis nggak terlalu dipikirkan. Kami berdua langsung diam
begitu Kamiki-san bilang sebenarnya target utama anime ini adalah para fans
lama Sailor Moon yang sekarang sudah dewasa. Yak, kontan teori gue langsung
mentah.
Dari semua narasumber, Osano-san
adalah yang paling komunikatif dan kocak. Menurut beliau, fans Sailor Moon ada
dua kategori. Kategori pertama bernama ooki tomodachi, arti harfiahnya “teman
besar”. Mereka adalah cowok-cowok dewasa yang sudah bekerja (bebas mau
interpretasi apa, beliau sendiri nggak menjelaskan lebih jauh,tapi gaya bicara
beliau bikin mikir yang aneh-aneh). Lalu yang kedua adalah chiisai tomodachi
atau “teman kecil”, yaitu cewek-cewek SD-SMP yang memang jadi target awal
Sailor Moon. Osano-san juga curhat bahwa sekarang persaingan semakin ketat
karena banyak ooki tomodachi beralih ke AKB48, jadi beliau dan timnya berusaha
agar Sailor Moon bisa kembali eksis seperti masa jayanya dulu.
Narasumber ketiga langsung
mengundang antusiasme yang besar. Giliran Takashi Hashiguchi dan editornya
Shigeru Kanmuri naik ke atas panggung. Gue berpikir keras kenapa nama si editor
terdengar nggak asing..Ternyata nama editornya sama dengan salah satu tokoh di
manga Yakitate Japan (inget cowok mirip cewek yang badannya kecil, jenius, dan
junior juri salah seorang juri di Yakitate?).
Mangaka dan editor Yakitate Japan |
Pada sesi ini narasumber seharusnya menjawab
pertanyaan yang sudah dikumpulkan via internet, akan tetapi karena banyak
sekali yang mengangkat tangan dan ingin bertanya akhirnya dibuka kesempatan
tanya jawab bebas. Pasangan mangaka-editor ini ternyata sering bertengkar namun
tetap berusaha menghasilkan karya yang bagus. Ketika ditanya mengenai cara
mendapat inspirasi, setengah berkelakar Hashiguchi-sensei bilang bahwa ia
mendapatkan inspirasi saat sedang mengejan di toilet atau menggoda cewek. Saat memilih penanya pun beliau dengan kocak bilang akan mengutamakan penanya cewek. Di
akhir sesi Hashiguchi-sensei menunjukkan kemahirannya membuat sketsa dalam
waktu singkat
Sesi terakhir diisi oleh chief
editor majalah Ribon, Jitsuya Tomishige dan chief editor Shounen Jump,
Yoshihisa Heishi yang keduanya berasal dari Shueshia. Gue sebenarnya kasihan
sama editor Ribon karena disandingkan dengan editor Jump yang punya fans jauh
lebih banyak, tapi sebagai pengunjung gue cuma bisa empati. Gue terbengong-bengong
saat Tomishige-san menjelaskan judul-judul yang ada di Ribon (karena shoujo,
apalagi untuk anak SD jelas sudah nggak gue konsumsi, gomennasai
Tomishige-san >_<a). Semangat gue mulai bangkit lagi saat Heishi-san dapat giliran
bicara.
Sesi Ribon dan Shonen Jump dari Shueshia |
Heishi-san menunjukkan edisi terbaru Shonen Jump yang terbit esok hari serta video
singkat mengenai manga Jump yang populer, plus suasana kerja di Jump. Meja-meja
penuh dengan tumpukan kertas serta barang-barang pribadi masing-masing editor.
Dengan malu-malu beliau mengakui ruang editor Jump berantakan. Beliau
menceritakan bahwa dengan deadline mingguan, tak jarang para editor dan mangaka
harus bekerja hingga 24 jam sehari agar Jump bisa terbit dengan selamat. Selain
itu, Heishi-san menjelaskan bahwa mayoritas mangaka dan editor di Jump berusia
dua puluhan dan Jump sangat mengapresiasi talenta-talenta pemula. Pernyataan
ini bikin gue teringat pojok curhatnya Masashi Kishimoto, pengarang Naruto
waktu beliau banting setir dari sekolah seni menjadi mangaka. Dengan kerja sama
yang baik dengan editor dan keuletan, akhirnya Kishimoto-sensei sukses besar.
Berakhirnya presentasi Heishi-san turut menjadi penutup acara. Rentetan pertanyaan langsung muncul di kepala gue ketika sesi tanya jawab dibuka
kembali dan gue sangat bernafsu "menguliti" proses editing di Jump yang banyak menghasilkan manga hits. Sialnya gue nggak dipilih walau sudah heboh nunjuk tangan, plus pake
jilbab warna mencolok. Gue yang kesal karena nggak
kebagian giliran bertanya dan kecewa begitu ingat kalau beberapa
pertanyaan ternyata jauh dari esensial (plis deh di depan lo itu orang yang
susah ditemuin wooy =_=) akhirnya menghibur diri dengan foto grup dan foto
bersama Heishi-san sang chief editor Jump.
me and Heishi-san \o/ |
Ingin sekali gue ngobrol lebih
lanjut tapi apa daya Bahasa Jepang gue amburadul dan beliau nggak bisa Bahasa
Inggris. Belum lagi pihak penyelenggara acara meminta pengunjung untuk cepat
bubar. Agh. Belum puas, tapi tetap senang karena sudah dapat kesempatan tahu
lebih jauh mengenai industri manga di Jepang.