“Mbak Silahkan Lihat
Mbak,SILAHKAN MAS LIHAT DULU, WOY! MBAK-MAS!!”
Hidup di zaman sekarang itu sulit.
Tekanan ekonomi membuat banyak orang harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Gue sendiri tidak merasakan kesulitan berarti karena alhamdulillah
keluarga gue termasuk mampu. Gue masih punya waktu untuk mempersiapkan diri
sebelum terjun ke dalam kerasnya dunia nyata. Keras, seperti fenomena yang gue
lihat di salah satu pusat perbelanjaan belum lama ini.
Dua hari yang lalu gue melihat
contoh nyata yang ekstrim dari ketatnya persaingan bisnis makanan. Saat itu gue
dan keluarga iseng jalan ke Sentra Grosir Cikarang alias SGC. Kami memutuskan untuk pergi ke Food Court
karena waktu makan siang sudah tiba. Begitu kami sampai, sejumlah waitress dari
kios makanan menawarkan hidangan dari tempat masing-masing. Bersahut-sahutan,
memperebutkan perhatian setiap orang yang dicurigai ingin menghilangkan lapar
dan dahaga.
“Mbak boleh mbak dilihat dulu
menunya..”
“MBAK boleh MBAK SILAHKAN”
“KE SINI AJA..mbak KE SINI..”
“*)&)^)^(*%&$*$^&^%#^@!!!”
Gue belum pernah lihat waitress
yang nawarin makanan seagresif itu, mirip pemandangan di terminal saat bus-bus
berebut penumpang. Apakah cara pemasaran mereka membuat gue tertarik beli?
Boro-boro, yang ada gue malah takut dan malas mendatangi kios-kios tersebut.
Akhirnya gue memilih beli fast food, satu-satunya yang tidak meneriaki calon
konsumen. Nyokap dan adik gue milih kios paling sepi di pojokan, jauh dari
tatapan “bernafsu” para waitress agresif.
Sambil makan, gue kembali
memikirkan apa yang gue renungkan di awal tulisan ini. Para waitress itu
berusaha sebaik mungkin mendatangkan pelanggan agar makanan yang mereka jual
bisa laku. Pasti capek berteriak-teriak sekencang itu sepanjang hari demi
mengimbangi bisingnya musik disko alay yang disetel begitu keras di sana. Rasa sebal
yang tadinya muncul mulai berubah menjadi empati. Sayang gue keburu beli
fast-food karena kesan pertama dari para waitress itu begitu menakutkan, dan
mungkin banyak yang mengalami kejadian serupa seperti gue. Akhirnya uang yang
bisa dipakai membantu usaha kecil masuk ke kantong para konglomerat pemilik
franchise fast-food..(mulai melantur karena kebanyakan mikir)
Gue nggak benci fast-food,
sekali-sekali oke lah. Waktu itu juga sebenarnya gue nggak begitu pingin beli
fast-food, tapi yah karena gue keburu ilfeel duluan akhirnya jatuhlah pilihan
pada produk ayam..yang sebenarnya baru gue makan dua hari sebelumnya. Giliran badan gue yang teriak-teriak karena keseringan disuruh mencerna karbo dan garam.
Bodohnya gue nggak ngasih masukan
ke waitress yang nganterin makanan buat nyokap dan adik. Mungkin selama ini
sama sekali nggak ada keluhan mengenai cara mendekati konsumen makanya cara
semi-barbar itu tetap digunakan. Semuanya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, padahal bisa saja jumlah pelanggan mereka meningkat jika teknik pemasaran diubah jadi sedikit anggun...
“MBAAAK…”
HUSH!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar