Selasa, 22 April 2014

Cerita tentang Celengan


Beberapa kali gue lewat jembatan penyebrangan yang menghubungan Depok Town Square dan Margo City,kadang-kadang gue melihat sesosok bapak tua jualan celengan. Dia selalu nongkrong di sekitar jembatan situ,entah di atas jembatannya atau nyempil duduk di area kecil dekat tempat angkot ngetem. Beberapa kali pula gue perhatiin dagangannya yang susah laku. Jaman sekarang celengan tanah liat punya saingan berat celengan kaleng. Dari segi bentuk dan tampilan saja sudah jelas nama yang lebih menarik.  Akan tetapi bapak tua itu tetap setia menjual celengan, mungkin tidak tahu harus bekerja apa lagi. Dalam hati gue berniat suatu saat akan beli satu celengan yang ia jual,kebetulan lagi butuh juga buat nabung recehan.

Setelah beberapa waktu berlalu,Sabtu malam (well,katanya bagi Jomblo ga ada malam Minggu? :p) gue akhirnya ketemu lagi dengan bapak tua ini. Dia duduk di daerah dekat angkot,kepalanya menunduk sangat dalam waktu pertama kali gue datang. Langsung gue tanya harga dagangan dia berapaan. 15 ribu. Bentuk celengannya bervariasi dan semuanya berasal dari tokoh kartun populer,mulai dari Spongebob sampai Doraemon. Gue memilih celengan Hello Kitty dan ngeluarin uang untuk membayar.

Hati gue langsung turun ke perut begitu melihat senyuman si bapak tua yang sangat ceria. Ada siratan rasa syukur yang bisa gue lihat dari barisan giginya yang kelihatan rapuh. Wajahnya tidak lagi suram,berganti ekspresi bahagia. Tadinya gue nggak mau ngambil kembaliannya karena kasihan,tapi setelah gue pikir-pikir lagi misalnya gue melakukan hal itu gue nggak menghargai usaha dia. Dia masih memilih untuk berdagang walau dagangannya kurang menarik. Dia nggak ngambil jalan pintas jadi pengemis untuk mencari nafkah. Gue urungkan niat menolak kembalian dan menerima lima ribuan yang disorongkan si bapak tua. Dia mengucapkan terima kasih pada gue. Nada suaranya betul-betul terdengar gembira. 

Selesai transaksi,gue naik jembatan penyebrangan untuk nyusul teman-teman gue yg udah jalan duluan. Pipi gue rasanya panas,hampir gue nangis di situ. 15 ribu yang buat gue mungkin cuma sekadar jatah makan siang bisa membuat seseorang tersenyum selebar itu,senyuman yang terlihat jelas padahal waktu gue transaksi keadaan sudah gelap gulita. Uang yang kelihatan nggak seberapa itu ternyata bisa jadi sesuatu yang sangat berharga untuk orang yang emang butuh. Sebenarnya hal-hal seperti ini merupakan rahasia umum, akan tetapi kadang orang (gue?) lupa bagaimana nikmatnya membantu orang lain walau hanya sedikit. Bagi kita mungkin sedikit, tapi sangat berarti untuk yang menerima.   


Celengan baru, abaikan botol-botol lainnya


Sekarang si Hello Kitty nangkring manis di atas rak buku kosan. Bentuknya memang nggak sempurna,agak penyok,catnya pun kurang rata (lihat bulu mata si Kitty yang terkesan asal?). Kalah jauh dibandingkan dengan Hello Kitty asli dari Sanrio, produsen resmi yang konon tiap tahun menghasilkan untung triliunan rupiah dari penjualan merchandise di seluruh dunia. Tapi bagi gue, arti dibalik si Hello Kitty panjul itu jelas jauh lebih dalam dibanding barang-barang sempurna buatan pabrik.Terima kasih sudah memberikan kesempatan pada gue untuk melihat senyuman di wajah bapak tua penjual celengan di jembatan penyebrangan Detos-Margo City :)


Jumat, 18 April 2014

We are the KAUP Warriors (Part I)



Hai, kembali bersama gue Anti di program Amazing College Courses (padahal ini edisi perdana XD). Di semester 6 ini gue kembali dihadapkan pada mata kuliah yang sangat menarik. Frase “sangat menarik” dalam dunia perkuliahan, buat gue pribadi biasanya selalu diikuti kata “menantang” serta”makan banyak waktu dan pikiran”. Yep, akhirnya setelah lama hanya mendengar legendanya, gue menjalani juga yang namanya Konstruksi Alat Ukur Psikologi alias KAUP. Ya, saat ini status gue adalah KAUP Warrior , bertugas menaklukkan mata kuliah yang selalu jadi juara trending topic anak-anak Psikologi UI dari masa ke masa. Terus apa hubungannya KAUP sama fotoan dengan pesawat? Karena..banyak alasan di bawah ini.

Sedikit tentang KAUP
Untuk KAUP, mahasiswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok berisi 6-7 orang (seperti biasa, di Psikologi UI bersiaplah dengan tugas kelompok yang bejibun). Kami harus membuat dua macam tes, satu untuk tugas UTS sedangkan satu lagi untuk UAS disertai comprehension test dalam bentuk lisan. Tes pertama jenisnya maximum performance test. Arti gampangnya untuk tes ini, yang diukur biasanya intelegensi, skill tertentu (misalnya nyetir), atau hasil belajar suatu program. Ujian harian, UTS dan UAS juga termasuk tes bentuk ini. Khusus untuk tes pertama ini, tiap kelompok cukup membuat sampai rancangan saja plus uji coba. Kelompok gue lalu terlibat perdebatan panjang dalam menentukan topik, sesi yang selalu menguras tenaga. Selain topik, kami juga harus memikirkan banyak aspek seperti argumentasi solid mengapa tes ini penting untuk dibuat, uji kelayakan tes macam apa yang akan digunakan (validitas, reliabilitas, familiar dengan istilah ini? Kalau nggak googling aja ya), sasaran tes, dan lain-lain.

Anak-anak di kelompok gue pingin jalan ke tempat yang nggak biasa untuk ngambil data. Pada akhirnya kita memutuskan mengambil siswa sekolah pilot sebagai subjek tes yang akan kita susun. Kelompok gue yang isinya cewek-cewek kinyis semua (halah) makin semangat karena bisa cuci mata sekalian nugas. Sekolah pilot gitu lho, sudah dapat dipastikan suasananya macam STM, kaum Adam bertebaran di mana-mana dengan penampakan yang oke punya. Belum lagi karena bayaran sekolahnya mahal, berarti yang masuk ke sana orang kaya semua (matre mode: on haha). Akan tetapi alasan yang paling utama sebenarnya bisa lepas sejenak dari suasana kampus dan menjelajah tempat yang benar-benar baru. Dunia ini luas, masa’ di kampus terus.

Off We Go!
Hari Rabu tanggal 19 Maret 2014 kami dengan gagah berani melebur dalam hiruk pikuk komuter KRL Bogor-Jakarta. Tujuan kami adalah Bandara Halim Perdanakusuma, tepatnya Deraya Flying School. Kami sampai di sana sekitar pukul 09:00 dan langsung beranjak menuju kantor sekolah pilot tersebut. Begitu bertemu dengan perwakilan sekolah, kami sempat waswas batal mengambil data karena ternyata informasi bahwa kami akan datang hari itu tidak sampai ke pihak yang sebenarnya bertanggung jawab mengurus izin kunjungan. Untungnya Mbak ini baik banget, ia tetap meladeni kami dengan sabar dan memastikan bahwa kami tetap bisa ambil data. Fyuh!

Setelah membayar 20.000 rupiah untuk registrasi masuk pengunjung, kami digiring ke area sekolah penerbangan yang terletak di dekat lapangan parkir pesawat. Rombongan kuning-kuning berbalut almamater langsung menarik perhatian orang-orang saking ngejrengnya. Di area sekolah, kami bertemu dengan salah satu instruktur (yang sayangnya gue lupa namanyaa) dan diminta menunggu sejenak karena kelas masih berlangsung. Sembari menunggu, kami mengobrol banyak dengan si instruktur dan memperoleh pengetahuan mengenai dunia penerbangan. Mulai dari peraturan penerbangan Indonesia yang berkiblat ke Amerika, private pilot dan commercial pilot ternyata menjalani kelas berbeda, industri penerbangan Indonesia yang makin dinamis, sampai ngomongin pesawat Malaysia Airlines yang (masih) hilang.

Selain bertemu instruktur, kami juga mendapat kesempatan bercakap-cakap langsung dengan kepala sekolahnya, Pak Suparno. Beliau adalah pilot veteran dan merupakan jebolan TNI AU. Sikap beliau sangat positif terhadap kedatangan kami dan beliau juga cukup paham Psikologi sehingga dapat langsung mengerti apa yang sebenarnya akan diukur oleh rancangan tes kami. Selesai bercengkrama, beliau mempersilakan kami untuk masuk ke kelas dan memulai uji coba tes. Kelas yang kami masuki adalah kelas private pilot atau pilot untuk pesawat pribadi.


Test..Test..Test..
Suasana kelas Private Pilot saat uji coba tes berlangsung

Suasana kelasnya kurang-lebih sama seperti yang sudah gue bayangkan sebelumnya. Dari sekitar 23 siswa, hanya ada satu cewek. Kelas hiruk-pikuk dengan obrolan para siswa yang kebanyakan adalah anak-anak SMA yang baru saja lulus dan baru menjalani sekolah penerbangan selama beberapa bulan. Usilnya luar biasa, mungkin karena jarang lihat cewek di sekolah. Salah seorang anggota kelompok jadi bulan-bulanan mereka karena digodain terus (tapi karena digodain sama bocah jadinya males juga hahah). Kami sempat kesulitan menenangkan kelas sebelum akhirnya Pak Instruktur membantu kami mengarahkan siswa supaya konsentrasi. Uji coba berlangsung cukup lancar walau ternyata waktu pengerjaan ternyata molor hampir dua kali lipat dari estimasi sebelumnya. Kami kira soal yang kami buat dapat diselesaikan dalam waktu 10-15 menit saja, tapi ternyata ada siswa yang menghabiskan waktu hampir setengah jam. Data-data seperti ini lalu kami jadikan bahan pertimbangan untuk revisi.  

Bersama Pak Suparno, Kepala Sekolah Deraya Flying School


Selesai uji coba dan menyerahkan suvenir, kami pulang dengan perasaan lega. Hari yang menyenangkan dan kami memperoleh pengetahuan baru mengenai dunia yang sebelumnya terasa begitu asing, langsung dari ahlinya. Terlebih lagi, reaksi positif dari calon pengguna alat tes mengenai rancangan alat tes kami membuat kerja keras kami terasa tidak sia-sia. Mungkin ke depannya bisa dikembangkan menjadi alat tes sesungguhnya dan menjadi sarana meningkatkan mutu pilot di Indonesia. 


Petualangan KAUP Warriors belum berakhir! Sampai jumpa di edisi UAS yang lebih greget! 

Sabtu, 12 April 2014

Aku Lampu Lalu Lintas


Aku lampu lalu lintas. Benda yang umum ditemukan di padatnya keramaian jalan. Saat Bapak dan Ibu Polisi tidak bertugas, aku dan teman-temanku yang bertanggung jawab menjaga kelancaran jalannya kendaraan dan keselamatan pejalan kaki. Aku sangat bangga dengan pekerjaanku ini. Mulia dan berguna untuk orang banyak.

Akan tetapi itu semua sebelum aku dimutasi ke sini. Di depan gang ini, mengawasi sepotong ruas jalan raya terbesar di kotaku. Pembuluh aorta dari kota ini. Awalnya aku kira pekerjaanku akan menyenangkan. Ruas jalan ini salah satu pintu masuk ke universitas terkemuka. Pasti banyak mahasiswa yang lewat, dan aku yakin mereka pandai-pandai. Dengan otak begitu canggih, mustahil mereka tidak mengerti isyarat yang aku gunakan. Wong anak kecil juga tahu.

Ekspektasi ternyata tinggal ekspektasi.

Kadang-kadang aku memang "dikacangin" manusia, namun seumur-umur aku bertugas, belum pernah dapat "pengacangan" sedahsyat ini. Senyum bisnis yang awalnya tersungging lebar sekarang menjadi bagian dari sejarah. Aku gabut. Satu-dua orang masih mengindahkanku, sisanya menganggapku angin lalu. Hari-hari kerja rasanya tidak berarti lagi. Ingin sekali aku pindah pos tugas. 

Suatu ketika, aku menguping pembicaraan dua orang gadis di ujung jalan. Mereka adalah bagian dari segelintir yang masih menganggap aku ada. Ah, rupanya mereka adalah mahasiswi psikologi. Tebak siapa yang digosipkan? Aku! (Aduh, jadi malu)

"Kayaknya lampu merah itu mendingan dipindahin aja deh. Nggak guna juga, hampir semua asal nyebrang." kata Gadis A.

Gadis B menyahut. "Iya, yang patuh paling spesies langka macam kita ini, walau mempertahankan prinsip itu susah setengah mati.."

"Konformitas emang paling mpang deh, tapi nggak semua yang lumrah itu benar kan." Gadis A menangkap tanda dariku bahwa sudah waktunya mereka menyeberang. "Yuk".  

Sebenarnya aku ingin bertanya lebih jauh tentang kom...por? Entahlah apa yang kedua gadis tersebut bicarakan. Apa itu yang menyebabkan aku dicuekin? Apa kebanyakan manusia cenderung begitu? Ah, manusia memang makhluk rumit. Sulit untuk kumengerti dengan sensor yang hanya tahu merah-kuning-hijau dan hitung mundur. 

Tapi sensorku yang sederhana ini tersentuh oleh kata-kata Gadis A. "Nggak semua yang lumrah itu benar."

Kamis, 10 April 2014

9 April 2014 : Galau Pileg



9 April 2014, Pemilu legistatif resmi dimulai. Gue yang masih harap-harap cemas pingin dikasih amplop oleh para caleg harus menerima kenyataan bahwa nggak ada satu pun tambahan uang saku gue dapatkan. Setelah perjalanan yang superlancar dari Depok ke Karawang dan makan soto hangat untuk mengisi perut, gue dan nyokap masih iseng mau nyari nama-nama calon di website KPU. Sepertinya banyak orang pakai jurus kepepet yang sama karena website KPU tiba-tiba susah diakses. Nggak sabar, akhirnya kita berdua sepakat untuk mengandalkan intuisi dan ingatan tentang track record caleg yang akan dicoblos (jangan ditiru ya =_=a)

Gue dan nyokap sama-sama terdaftar di TPS 15. Kami segera sibuk di bilik suara masing-masing begitu petugas TPS menyerahkan  empat kertas suara dengan warna pelangi : merah, kuning, hijau, dan biru. Ukuran kertasnya lebih besar dari kertas koran, gue langsung dapat membayangkan pusingnya mencari nama (buat mereka yang udah tahu mau coblos siapa) atau membulatkan keputusan untuk mencoblos satu dari puluhan nama asing yang tercantum di sana (contohnya macam gue ini).

Di tingkat DPR RI masih banyak nama yang gue kenal karena mereka sering disorot media. Begitu masuk DPRD provinsi dan yang sisanya, kening  gue berkerut bingung. Ragu. Takut salah pilih (siapa suruh ga riset duluuuu). Ujung-ujungnya? Gue mencoblos tiga partai berbeda untuk DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten. Berulang kali gue mengucap basmallah supaya hasil merenung kilat ini bisa memberikan hasil baik bagi Indonesia sambil memasukkan kotak suara ke tempatnya masing-masing sesuai warnanya.

Entah berapa banyak orang yang mengalami kesulitan serupa dengan gue yang menghabiskan hampir 15 menit di dalam bilik suara untuk mikir. Di saat gue tahu politik uang masih menjadi metode favorit mendulang simpati walau si caleg bisa tanpa malu menuliskan “jujur dan bersih” di spanduk bergambar foto mereka yang mengotori wajah kota. Di saat gue sadar banyak caleg bahkan nggak punya visi-misi jelas dan masih nekat maju jadi anggota dewan. Di saat gue mengerti kenapa banyak orang dengan latar belakang oke enggan berpolitik karena kebobrokan yang membuat mereka jijik. ..

Daripada ngomel, lebih bijak jika berbuat sesuatu untuk membuat keadaan jadi lebih baik, walau hanya sedikit. Bismillah. Semoga sumbangan yang nggak berarti ini, satu suara dari seorang Riztianti Setiamurdiawati, dapat turut membawa Indonesia ke arah perubahan positif.


Buat teman-teman anak rantau yang di Pileg nggak nyoblos, yang presiden jangan absen lagi ya bro-sis! Sayang kalau kertas suara kalian malah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang gak bertanggung jawab!

Pemilihan umum kini telah tiba..

Ayo songsong dengan gembira..

Minggu, 06 April 2014

Perenungan Misteri Kehidupan


Kesendirian dan perasaan negatif cenderung membuat gue produktif nulis =_=a Yang satu ini juga termasuk tulisan edisi "menyemangati-diri-yang-sedang-terpuruk". Jangan-jangan gue musti nyemplung jadi melankolis-suicidal dulu supaya rajin nulis lagi....(jangan lah Ti :p). Buat yang baca, semoga nggak tertular kesumpekannya, endingnya motivasional kok hehe.


Perenungan Misteri Kehidupan

Gadis itu duduk sembari memeluk lutut. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam seolah menghindar dari penilaian semesta. Dua matanya terpejam, berusaha menahan bulir-bulir air yang menyeruak ingin lepas dari pelupuk. Air memang tidak tumpah, namun sebagai gantinya ia merasakan guncangan lemah datang dari seluruh tubuhnya. Guncangan yang membawa gelombang kenangan. Satu per satu menyapa saraf visual di dalam otak, membentuk kilatan-kilatan sketsa kejadian yang telah silam. 

Entah mengapa warna yang dominan muncul adalah semburat kelabu. Gelap, dingin, serta memancarkan rasa putus asa. Gadis itu menghela napas pelan. Canda tawa yang pernah mengisi waktunya terasa seperti mimpi saja, lewat tak berbekas. Ah, bukannya sama sekali hilang tanpa jejak..Jejak itu ternyata begitu nyata. Jejak kekosongan dalam hati. Lubang menganga yang menuntuk diri untuk ditambal segera namun entah material apa yang harus sang gadis gunakan untuk menutupnya. Lubang yang sangat mewah dan istimewa, sekaligus menyiksa jiwa. 

Sungguh, sang gadis merasa sangat beruntung memperoleh kesempatan untuk berpikir, mempertanyakan, dan dipusingkan oleh hal ini. Banyak orang yang bahkan tidak punya waktu untuk merenungkannya, karena sang hidup menakan mereka hingga sulit bergerak. Harus menjalani realita sebaik-baiknya dalam suatu rangkaian aksi yang hampir otomatis.

Setetes air mata berhasil menyusup ke cuping hidung si gadis. Ia senang, rutuknya, namun ia juga hampir gila karena tak kunjung menemukan jawaban dari perenungannya selama ini. Akan lebih sederhana mengikuti arus seperti orang pada umumnya..Ia tahu pasti akan hal itu. Ia tahu lebih dari siapa pun. 

Namun ia tidak tega membohongi nuraninya sendiri. Hati kecil yang kerap membawanya ke labirin penuh misteri. Labirin mengenai arti hidup. Labirin yang menjanjikan makna keberadaan diri yang sampai kini masih meninggalkan si gadis dalam dunia penuh tanda tanya. 

Ia ingin tahu, sekaligus takut. Kotak-kotak di depan si gadis begitu menarik untuk dibuka, namun tidak semuanya berisikan bunga indah. Beberapa ranjau tersimpan di dalamnya. 

Sementara itu, sang lubang masih terus meraung, menuntut renovasi. 

Tubuh sang gadis bergetar lagi. Tangan-tangan imajiner di dalam pikirannya bergerak takut-takut membuka kotak-kotak yang selama ini teronggok di hamparan padang misteri hidup. 

"Akankah aku mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini?"

"Kalau nggak dicoba, bagaimana mau tahu hasilnya?"

"Gagal bukan akhir segalanya, just give it a try."

Setitik warna cerah mengintip dari salah satu kotak, bagai pertanda senyuman akan kembali mengisi lembaran putih. Gadis itu berjalan pergi, melangkah sambil berusaha menguatkan diri. 


Arti Reuni - Sebuah Ironi



Setengah-puisi-setengah-cerpen ini adalah hasil corat-coret gue ketika sedang suntuk dan ujung-ujungnya kebanyakan mikir. Gue lupa apa yang dulu jadi ilham untuk nulis ini, tapi yang jelas pandangan gue mengenai reuni kurang-lebih tergambar di dalamnya. Karena nulis merupakan salah satu metode katarsis gue, maaf kalo isinya agak negatif.  I used to be a bitter person, and sometimes the bitterness still emerges unconsciously :3

Well then, douzo!


Arti Reuni - Sebuah Ironi

Reuni bukan sekedar temu kangen untuk membangkitkan kenangan.
Senang atau tidak, reuni berarti masuk pada ajang perbandingan tentang pencapaian selama berpisah jarak
Kelegaan menyeruak ketika tahu jarak masih belum terpaut jauh.
Rasa tidak aman dan benci pada diri kerap muncul saat diri ini masih merangkak di saat yang lain mulai terbang.

Setiap orang punya ritme masing-masing.
Jalan hidup masing-masing.
Yang harus dilakukan adalah berusaha memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkan.
Memahami apa yang menurut masing-masing orang adalah sesuatu hal yang berharga.
Begitu berulang-kali aku menenangkan diri, sambil tersenyum manis menyembunyikan kegelisahan dalam hati.

Reuni, ketika mesin waktu mulai bergerak mundur.
Kenangan pahit, manis bercampur baur.
Membawa nuansa yang selalu mengundang perasaan rindu, atau mungkin perasaan syukur.
Karena masa-masa sulit sekarang dapat dikenang sambil mengulum senyum.

Reuni kadang jadi ajang basa-basi.
Pamer aktualisasi diri.
Sampai memang murni mempererat silaturahmi.
Mau alasan apapun, reuni tetap dinanti.
Demi nostalgia dan keabadian memori.